Kamis, 25 Februari 2010

Kesenjangan Sosial Ekonomi

Kesenjangan social ekonomidi Indonesia sering tidak sama.Hal ini terbukti dari kurang adanya kesempatan untuk memperoleh sumber pendapatan ,kesempatan kerja,kesempatan bekerja ,kesempatan berusaha dan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kesenjangan social adalah :

1. menurunya pendapatan perkapita tanpa diimbangi peningkatan produktivitas
2. ketidak merataan pembangunan antar daerah

Sehingga dalam hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa semakin besar perbedaan untuk mendapatkan kesempatan semakin besar pula kesenjangan social ekonomi yang terjadi dalam masyarakat.untuk mengatasi hal itu maka pemerintah melakukan

1.Menghapus kemiskinan

2.Memberikan pekerjaan kepada pengangguran

3.Mengapus kesenjangan social


*Pencematran Lingkungan Alam

Modernisasi yang terjadi di lingkungan kia mengakibatkan manusia lupa akan kondisi disekitarnya. Banyak sekali bencana alam yang terjadi karena ulah manusia, diantaranya yaitu banjir,karena manusia menebang hutan seenaknya sendiri, gempa bumi , tanah longsor dll. Modernisasi juga berdampak pada anak- anak muda jaman sekarang kususnya anak laki-laki,yang hobi mengotak-atik motornya dan mengganti kanlpot asli dengan knalpot yang bersura keras ,yang tidak ramah lingkungan dan menimbulkan asap yang banyak.jika setiap hari banyak sekali asap-asap kotor di lingkungan kita. Maka lapisan ozon di bumi kita akan menipis.Mungkin kita dapat membantu mencegahnya dengan cara

1.Menanam pepohonan di sekitar kita

2.mengurangi asap-asap kotor di lingkungan kita

3.Mengganti bahan bakar motor yang ramah lingkungan

*Kriminalitas

Kriminalitas umumnya sering terjadi dikota-kota besar, karena sebagian besar para pelakunya adalah orang-orang yang ekonominya lemah dan juga pengangguran.Kriminalitas sering terjadi dimana-mana ,kejahatan seperti ini terjadi karena adanya kesempatan. Tapi sekarang bukan hanya orang lemah saja yang melakukan kriminalitas, tetapi orang kayapun kini ikut serta.Mereka belomba-lomba untuk mendapatkan kekayaan misalnya korupsi. Padahal mereka tau bahwa korupsi itu selain juga dapat kesenangan karena mendapatkan uang. Juga dapat memberikan kesengsaraan bagi dirinya sendiri, umumnya para penjahat paling banyak dipusat perbelanjaan.

Cara untuk mengatasi kriminalitas :
- Membuka lapangan pekerjaan agar tidak ada lagi yang menganggur dan berbuat kriminalitas

- Pemerintah harus bertindak dan jangan menyepelekan

- Negara harus memberi hukuman yang berat agar pelaku kriminalitas takut dan tidak mengulanginya lagi


*Lunturnya Eksistensi Jati Diri Bangsa

Globalisasi ditandai dengan lunturny budaya Indonesia karena terpengaruh budaya barat, contohnya internet dilain sisi internrt sangat merugikan bagi masyarakat. Lalu anak-anak muda sekarang mulai melupakan musik-musik Indonesia seperti lagu nasional, tarian daerah juga mulai dilupakan, padahal tarian adalah asset bangsa Indonesia yang harus dilestarikan karena pengaruh budaya barat masyarakat hanya mengenal tarian dari budaya barat yaitu dance.Kesenian Indonesia mulai luntur seperti wayang, keroncong sudah mulai dilupakan. Maka dari itu kita harus mencegahnya seprti :

1. Menumbuhkan rasa cinta tanah air

2. Mencintai produk dalam negri

3. Mencintai budaya – budaya asli Indonesia

* Home * About DAMPAK MODERNISASI DAN GLOBALISASI

Kondisi di Negara Indonesia saat ini memang berbeda dengan Indonesia yang dulu. Sekarang banyak masalah-masalah yang sedang terjadi di Negara kita, sungguh sangat memprihatinkan. Pemerintahpun tidak sanggup mengatisinya, memang setelah terjadi globalisasi rakyat kita ada yang mengalami kemajuan dan ada juga yang mengalami kemunduran. Dalam bidang ekonomi misalnya,rakyat kecil semakin tertindas akibat semua harga pangan semakin mahal.krisis moneterlah yang menyebakansemuanya menjadi naik.

Namun tak selamanya globalisasi dan modernisasi menyebabkan dampak negatif, namun juga ada dampak positifnya.sekarang di Negara kita sudah mengalami kemajuan contohnya kemajuan teknologi seperti intenet,yang menguntungkan bagi para pekerja kantoran dan para pelajar. Jika Negara kita ingin maju kita harus melakukan kerjasama dengan Negara-negara lain yang menguntungkan bagi Negara kita dan juga Negara lain. Kita juga harus mewaspadai datangnya bangsa barat,karena sebagian besar para pemuda sudah meniru gaya budayanya.


*Urbanisasi

Urbanisasi terjadi karena mungkin menurut pandangan orang desa, dikota lebih banyak peluang pekerjaanya. Salah satu faktor yang ada di kota yaitu daya tarik ekonominya yang sangat tingggi ,maka sebab itulah rakyat desa memilih untuk merantau ke kota. Namun pandangan itu belum tentu juga benar, karena masih banyak orang kota yang menjadi pengangguran. Mungkin juga orang desa menganggap bahwa di kota itu masyarakatnya sudah modern.

Untuk menanggulangi masalah tersebut pemerintah harus melakukan sesuatu separti:

1.Memperluas lapangan pekerjaan dalam brbagai bidang

2.Memberikan ketrampilan kepada pengangguran

3.Membuka Lapangan usaha di desa.

CARA-CARA MENGHADAPI ERA GLOBALISASI

cara-cara menghadapi era globalisasi

1. menyaring budaya-budaya asing yang masuk ke negara kita harus yang sesuai dengan kepribadian bangsa.
2. mencintai atau membeli produk dalam negeri sendiri.
3. meningkatkan produksi dalam negeri agar dapat bersaing dengan produksi negara-negara maju.
4. berusaha mengikuti perkembangan iptek.
5. tidak bergaya hidup bermewah-mewahan.
6. meningkatkan iman dan takwa pada Tuhan YME

Dunia Pendidikan Di Era Global

Dominasi era global telah membuat para penyelenggara pendidikan terjebak dalam perasaan ketidak-pastian dengan sistem pendidikan saat ini. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan-kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, melampaui kesiapan lembaga-lembaga pendidikan dalam mendesign kurikulum, metode dan sarana yang dimiliki guna menghasilkan lulusan-lulusannya memasuki sebuah era yang ditandai dengan tingkat kompetisi dan perubahan yang begitu masif dan cepat. Saat ini, persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan bukan lagi sekadar relevansi antara content yang diberikan kepada peserta didik dengan kebutuhan dunia kerja supaya lulusannya siap memasuki dunia kerja, tetapi dunia pendidikan juga dituntut untuk selalu mencermati relevansi dimensi paedagogies-didaktif ( antara lain : tehnik pengajaran, kurikulum, metode, tempat pembelajaran dan lainnya ) dengan trend budaya global.
Profesor Mastuhu dalam Menata Ulang Pemikiran Sitem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 mengemukakan : “Globalisasi sering diterjemahkan “mendunia” atau “mensejagat”. Sesuatu entitas, betapapun kecilnya, disampaikan oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa ide, gagasan, data, informasi, produksi, temuan obat-obatan, pembangunan, pembangunan, pemberontakan, sabotase, dan sebagainya; begitu disampaikan, saat itu pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia. Hal ini biasanya banyak terjadi di lingkungan politik, bisnis, atau perdagangan, dan berpeluang mampu mengubah kebiasaan, tradisi, dan bahkan budaya.Misalnya, Mc Donald’s, Berger King, Domino’s Pizza, Kentucky Fried Chicken, Jean’s, tas tangan merk Gucci dari Itali, kartu kredit City Bank,ABN Amro, dan lain sebagainya. Barang-barang ini telah mampu mengubah kebiasaan, dari sejak : makan, pakaian, dan gaya hidup seseorang atau kelompok dari “tradisi lokal” ke “tradisi global”.
Yang perlu dicermati adalah globalisasi membawa akibat terjadinya perubahan yang terus menerus dan semakin cepat. Fenomena perubahan yang kian berakselerasi memberi imperatif berbagai lembaga pendidikan yang ada untuk terus melakukan sefl reform jika ingin tetap mempertahankan eksistensinya di jaman yang berlari seperti sekarang. Namun, juga perlu diperhatikan bahwa jika reformasi dilakukan secara serampangan, sekadar reaktif dan tidak visioner, justru akan menyebabkan terjadinya degradasi kemanusiaan di masa mendatang.
Misalkan, sekitar tahun 80-an, dunia pendidikan kita dikritik habis-habisan oleh masyarakat, khususnya dari kalangan dunia kerja. Lulusan sekolah, baik sekolah menengah maupun perguruan tinggi, dikeluhkan tidak memiliki kapasitas dan ketrampilan yang memadai seperti dibutuhkan oleh dunia kerja. Mereka hanya pandai berteori, tetapi tidak menguasai teknis-praktisnya. Tak ayal, kurikulum pendidikan, metode pengajaran, prasarana dan sarana praktek dan link and match dalam lembaga pendidikan menjadi pembicaraan publik.
Dunia pendidikan bukannya tidak memahami atas persoalan tersebut. Negara, sebagai pihak yang mengemban amanat penyelenggara pendidikan terus melakukan upaya-upaya penyempurnaan terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun sayangnya, kebijakan-kebijakan penyempurnaan yang dibuat cenderung bersifat reaksioner. Kurang didasari visi yang jelas.
Doni Koesoema A dalam artikelnya ‘Pendidikan Manusia Versus Kebutuhan Pasar’ menilai bahwa tanggapan pemerintah atas berbagai persoalan dalam dunia pendidikan terkesan lebih bersifat reaksioner ketimbang visioner. Kebijakan yang diambil pemerintah dalam meningkatkan kualitas dunia pendidikan hanya didasarkan sikap reaktif, kaget, bingung, bahkan sekadar memenuhi kepentingan dan kebutuhan sesaat. Keluhan, bahwa ganti menteri ganti kebijakan, ganti buku pelajaran, dan lain-lain adalah afirmasi atas situasi ini. ( Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas, 2004 ).
Selanjutnya, Doni Koesoema memberi contoh kebijakan pemerintah yang kurang didasari visi jangka panjang di bidang pendidikan : “…… pendidikan kita ditengarai menghasilkan orang-orang yang tidak siap masuk dunia kerja. Karena itu, satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah menyiapkan sekolah-sekolah agar menghasilkan orang-orang yang siap memasuki dunia kerja. Bagaimana caranya ? Diperkenalkan program link and match. Program link and match dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikbud, kini berubah menjadi Mendiknas ) Wardiman Djojonegoro ( 1193-1998 ) yang mengaitkan berbagai macam program dan kurikulum di sekolah dengan tuntutan yang dibutuhkan perusahaan…….”
Program link and match ini dalam implementasinya bernama Pendidikan Sistem Ganda ( PSG ). Dengan PSG dimaksudkan sebagai model belajar sambil magang kerja. PSG merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan yang memadukan secara sistemik dan sinkron program pendidikan sekolah dan program penguasaan keahlian/ketrampilan yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja dan diarahkan untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Dilihat sepintas, barangkali tidak ada yang keliru dengan PSG ini. Namun jika dicermati lebih jauh, maka akan terlihat bahwa visi yang ada di balik kebijakan PSG ini sangat membahayakan. Saat itu, link and match dianggap sebagai sebuah imperatif yang harus diterapkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Ini merupakan dominasi dunia industri yang dibiarkan masuk dalam sistem pendidikan tanpa mempertimbangkan kerugian yang akan diderita peserta didik dan bangsa secara umum.
Persoalan-Persoalan Yang Dihadapi Dunia Pendidikan
Dengan link and match seolah-olah satu-satunya tujuan pendidikan yang dibenarkan adalah mempersiapkan peserta didik untuk cocok masuk sebagai salah satu bagian dari dunia industri. Maka, segala upaya pendidikan adalah harus disesuaikan memenuhi kebutuhan dunia kerja. Sekali lagi, program link and match tidaklah salah. Karena tujuan peserta didik menjalani pendidikan adalah untuk mempersiapkan diri memasuki dunia kerja. Namun, menjadi bahaya manakala ini diasumsikan sebagai satu-satunya tujuan pendidikan. Dengan berasumsi demikian, maka fungsi-fungsi lain dari pendidikan direduksi, jika tidak dikatakan dihilangkan.
Lembaga pendidikan yang mendesign kurikulumnya guna membekali peserta didiknya dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan dunia kerja merupakan sikap yang bijak. Karena, menciptakan sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat merupakan sebuah tuntutuan yang mendesak dan terus ada. Namun, merupakan cerminan keterbatasan horizon pemikiran manakala beranggapan bahwa tujuan pendidikan semata-mata demi memenuhi kebutuhan praktis sesaat.
Kebijakan pendidikan yang dilatari oleh horizon berpikir sempit seperti ini berpotensi melahirkan proses dehumanisasi pada diri peserta didik. Pendidikan yang terlalu memfokus pada upaya mencetak tenaga-tenaga trampil yang dibutuhkan dunia industri dan melupakan tujuan-tujuan pendidikan yang lain, akan melahirkan robot-robot berbaju manusia. Implikasi dari kebijakan-kebijakan pendidikan semacam itu telah lama kita rasakan. Misalkan, rendahnya moralitas, rendahnya sikap toleransi, rendahnya sikap menghargai sesama, lemahnya mental enterpreuner, rendahnya mental team-work, minimnya jiwa kepemimpinan dan lain-lain.
Percepatan inovasi yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut manusia-manusia pembelajar yang terus mau dan mampu meng-upgrade diri. Ini berarti lembaga pendidikan harus juga mampu mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar peserta didiknya. Lembaga pendidikan harus memberi ketrampilan learn how to learn.
Ketika lembaga-lembaga pendidikan ‘dipaksa’ mendesign kurikulumnya hanya untuk kepentingan link and match, dan mengabaikan learn how to learn ini, pasti akan menghasilkan generasi-generasi yang gagap terhadap aneka perubahan yang terjadi di era global ini. Barangkali, generasi hasil program link and match akan menunjukkan kinerja yang memuaskan saat mereka baru memasuki dunia industri/kerja. Namun, ketika perusahaan harus menggunakan instrumen-nstrumen baru, yang ini berarti menuntut para pekerjanya untuk mempelajari hal-hal baru, maka umumnya performance dari generasi ini akan mengecewakan. Mereka kurang memiliki ketrampilan untuk mempelajari hal-hal baru.
Belum lagi jika kita lihat fakta bahwa jenis-jenis pekerjaan yang sepuluh sampai dua puluh tahun lalu masih berjaya, kini satu per satu mulai sirna ditelan arus perubahan. Seperti diuraikan di atas, lembaga pendidikan yang terlalu terfokus pada program link and match bertujuan menghasilkan output yang memiliki ketrampilan pada jenis pekerjaan tertentu. Permasalahan muncul manakala jenis pekerjaan yang dikuasai tersebut dipaksa sirna, maka yang bersangkutan tidak mampu berbuat apa-apa. Ketrampilan yang dimiliki dari lembaga pendidikan yang telah ditempuh menjadi tidak berguna bagi hidupnya. Artinya, program link and match yang dilakukan secara gegabah akan mempersempit ruang kerja alumninya.
Kemajuan di bidang teknologi informasi memang banyak memberi kemudahan bagi kita saat ini. Melalui berbagai media elektronik ( televisi dan internet ), kita dan anak-anak kita setiap detik dibanjiri dengan berbagai informasi dari berbagai belahan dunia. Banyak informasi yang memang berguna bagi kita dan anak-anak kita untuk meningkatkan pengatuan, ketrampilan dan sikap. Namun, juga harus diakui bahwa kemudahan dan manfaat yang ditawarkan, banyak juga sisi mudhlaratnya. Resahnya para orangtua akan maraknya pornografi di dunia maya, kejahatan dan penipuan yang terjadi di dunia maya memberi bukti atas hal ini. Banyaknya sisi mudhlarat tersebut bukan berarti kita bisa menjauhkan diri dari pemanfaatan teknologi informasi. Karena, siapa pun yang menjauhkan diri dari gegap gempitanya dunia teknologi informasi ini akan ditinggal oleh arus perubahan. Akan terjerumus dalam kategori golongan primitif.
Alvin Toffler dalam bukunya Culture Shock :”Globalisasi, selain menghadirkan peluang “positif” untuk hidup mudah, nyaman, murah, indah dan maju; juga dapat menghadirkan peluang “negatif” sekaligus, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan,, dan penyesatan. Globalisasi bekerja selama 24 jam dengan menawarkan banyak pilihan dan kebebasan yang bersifat pribadi. Pendek kata, dewasa ini telah terjadi “banjir pilihan dan peluang”, terserah kemampuan seseorang untuk memilikinya.
Mencermati apa yang dikemukakan Toffler di atas, secara tersirat memberi amanat bahwa dunia pendidikan harus memberi satu life skill kepada peserta didik yang saat ini sangat penting, yakni ketrampilan mencari, menyaring, memilah dan memanfaatkan berbagai informasi, peluang dan pilihan dengan benar. Sekaligus juga memberi nilai-nilai hidup untuk berani membuang informasi dan pilihan yang tidak berguna dan merusak.
Kebijakan Pendidikan Putera Indonesia Malang
Yayasan Putera Indonesia Malang sangat menyadari bahwa kebijakan pendidikan yang ‘hanya’ bertujuan mencetak robot-robot pekerja merupakan malpraktek dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, Yayasan Putera Indonesia Malang, selain membekali mahasiswa dengan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan oleh dunia usaha, juga membekali mahasiswa dengan berbagai life skill dan nilai-nilai hidup supaya mereka bisa survive di zaman global ini.
Untuk memberi bekal ilmu dan ketrampilan yang sesuai dengan dunia kerja di bidang kefarmasian, mahasiswa ditempa dalam berbagai laboratorium kefarmasian. Di laboratorium ini, mereka mendapatkan berbagai pelatihan dan melakukan uji coba dalam bidang obat-obatan, kosmetika, makanan dan minuman, alat kesehatan dan obatan-obatan tradisional. Kemudian, supaya mahasiswa lebih mendalami ketrampilannya dan lebih mengenal dunia kerja secara riil, maka kami menjalin kerja sama dengan berbagai pihak sebagai tempat mahasiswa Praktek Kerja Lapangan. Pihak-pihak yang dimaksud meliputi, apotik, rumah sakit dan puskesmas, dunia industri, lembaga-lembaga pengawasan dan pengujian, serta lembaga-lembaga lain yang dipandang relevan dengan bidang kefarmasian.
Selain mata kuliah yang bersifat praktik, mata kuliah teoritis pun mendapat perhatian serius. Mengingat lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah Yayasan Putera Indonesia Malang bersifat vokasi, maka mata kuliah teori bertujuan untuk mendasari keahlian dan ketrampilan mahasiswa. Sebelum melakukan kuliah praktek, mereka ditugaskan melakukan kajian-kajian teoritis terlebih dahulu dengan difasilitasi secara penuh oleh para dosen. Dengan kajian ini diharapkan mahasiswa mampu melakukan praktek dengan pemahaman yang mendalam terhadap semua materi dan prosedur yang dipraktekkan. Sehingga, mereka tidak saja mampu melakukan dengan sempurna, tapi juga mampu melakukan penelitian-penelitian dan inovasi-inovasi keilmuan.
Pola seperti itu dikembangkan karena kami seringkali menemui mahasiswa sangat terampil dalam melakukan kegiatan praktik, tetapi begitu ditanya mengapa mereka memilih prosedur tertentu dan bukan lainnya, mereka diam seribu bahasa. Artinya, mereka melaksanakan suatu praktek, tapi mereka tidak memahami apa yang dilakukannya. Mereka menjadi semacam robot. Dan, dari “robot-robot” ini jelas mustahil berharap ditemukannya kreasi dan inovasi-inovasi baru.
Untuk tidak terjebak dalam menciptakan “robot-robot” seperti itu, maka Yayasan Putera Indonesia Malang mengembangkan suatu model pembelajaran baru. Model pembelajaran yang dimaksud adalah yang memberi tekanan kepada learn how to learn. Dengan model ini, dosen tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber ilmu dan informasi. Karena itu, tugas dosen tidak lagi sebagai “orang pintar” yang bertugas mengisi otak mahasiswa dengan pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya. Tetapi, tugas dosen adalah membantu atau memfasilitasi mahasiswa memanfaatkan beragam sumber belajar yang ada ( buku, perpustakaan, media massa, internet atau para praktis ) sehingga mahasiswa mampu mengkonstruksi sendiri segala macam ilmu dan informasi yang diperolehnya. Tugas utama dosen adalah melatihkan metode-metode belajar kepada mahasiswa. Tujuan akhirnya adalah mahasiswa mampu belajar dari sumber-sumber belajar yang ada secara mandiri, sehingga ketika mereka lulus mereka siap mempelajari berbagai hal baru. Karena, di era global ini setiap detik selalu muncul hal-hal baru yang harus dikuasai, sehingga yang dibutuhkan era ini adalah manusia-manusia pembelajar yang haus inovasi. Bukan orang-orang yang bisa bertindak jika ada petunjuk atasan.
Untuk mewujudkan hal itu, maka model pengajaran deduktif diganti dengan yang bersifat induktif. Pada model deduktif, biasanya dosen hanya memberikan konsep-konsep dari textbook, kemudian mahasiswa menghapalnya tanpa tahu mengapa konsep tersebut seperti itu dan bagaimana menerapkannya dalam situasi nyata. Sedangkan pada model induktif, penguasaan konsep dimulai dari hal-hal nyata yang ada di masyarakat yang telah dikenal baik oleh mahasiswa. Fakta-fakta nyata tersebut dijadikan sebagai premis minor. Dari premis-premis minor ini, dengan difasilitasi dosen, mahasiswa dilatih untuk membuat generalisasi-generalisasi. Ketika generalisasi yang dilakukan oleh mahasiswa ternyata salah atau bertentangan dengan teori-teori yang ada, tugas dosen untuk membantu membenarkannya. Dengan metode ini diharapkan akan menjadi netode pembelajaran yang mampu mengembangkan semangat dan kemampuan belajar lebih lanjut.
Model induktif tidak akan bisa dicapai jika dosen memberi kuliah hanya dengan metode ceramah. Metode ini hanya akan membuat mahasiswa menjadi manusia-manusia pasif. Perkuliahan harus melalaui metode diskusi,dialog, brainstorming dan mencari kebenaran bersama dalam wilayah akademik. Memang, tak bisa dipungkiri ada mata kuliah-mata kuliah tertentu yang harus tetap bersifat doktriner, seperti mata kuliah agama. Namun jumlahnya sangat kecil.
Selain dibekali dengan berbagai keilmuan di atas, mahasiswa juga dibekali berbagai keatrampilan penunjang yang dibutuhkan untuk hidup mereka, baik di tempat kerja maupun dalam masyarakat luas. Misalkan, ketrampilan bekerja-sama, ketrampilan kepemimpinan, etos kerja yang baik, nilai-nilai spiritualisme, sikap toleransi dan lain-lain. Hal ini diperoleh mahasiswa melalui kegiatan outbond, latihan kepemimpinan pada kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler, aktivitas keagamaan dan pembelajaran di dalam kelas.
Satu hal lagi yang kami sadari adalah penggunaan teknologi informatika ( TI ) dalam hampir setiap aspek kehidupan, terutama di dunia kerja. Maka, mau tidak mau, kami harus memberikan ketrampilan-ketrampilan aplikasi dan pemanfaatan TI ini. Selain untuk menyiapkan mahasiswa terhadap tuntutan penguasaan TI di dunia kerja, pemanfaatan TI dalam proses belajar adalah untuk melatih mahasiswa dengan satu ketrampilan hidup yang sangat dibutuhkan saat ini, yakni ketrampilan mencari, menyaring, memilah dan memanfaatkan informasi dengan benar dan membuang informasi yang tidak berguna dan merusak. Supaya mahasiswa memiliki ketrampilan ini, mereka harus diberi kesempatan dan ruang untuk menjelajah kehidupan melalui proses pencarian dan penemuan pada proses belajar mereka. Maka dari itu, model pembelajaran yang menggunakan model pendiktean, penghafalan, indoktrinasi dan deduktif harus dibuang jauh-jauh karena tidak sesuai dengan tuntutan zaman.
Ketrampilan mencari, menyaring, memilah dan memanfaatkan informasi sangat dipermudah dengan adanya teknologi komputer dan internet. Karena itu, sarana-sarana tersebut telah kami sediakan berupa area hotspot dan intranet. Dan kami sangat menyadari bahwa sarana tersebut akan mubazir manakala mahasiswa tidak memiliki ketrampilan dan kesadaran untuk memanfaatkannya. Karena itu, ketrampilan mempergunakan fasilitas-fasilitas tersebut kami berikan kepada mahasiswa. Selain itu, pemanfaatan sarana TI juga telah kami integrasikan dalam beberapa mata kuliah. Kurikulum telah mulai kami design supaya mahasiswa memanfaatkan internet atau jaringan intranet yang ada untuk mengerjakan tugas-tugas, mencari informasi dan berinteraksi dengan dosen.
Satu hal lagi yang perlu kami sampaikan adalah, salah satu seksi dari biro humas kami punya tugas menggali data tentang kebutuhan-kebutuhan akan tenaga kerja pada dunia industri atau atau dunia usaha. Data-data yang terkumpul kemudian kami umumkan melalui website kami atau langsung kami sampaikan kepada para alumni yang belum mendapat pekerjaan. Upaya-upaya ini akan terus kami lakukan dan hubungan baik dengan dunia usaha dan dunia industri akan terus kami tingkatkan. Tujuannya adalah untuk memudahkan para alumni mendapatkan pekerjaan.

Akibat Modernisasi dan Globalisasi terhadap Budaya Indonesia

Suatu kemajuan akan menghasilkan dampak positif dan negatif. Hal ini harus dapat kalian sadari betul agar dapat meminimalkan dampak negatif yang merugikan serta memaksimalkan dampak positif yang menguntungkan.

a . AKIBAT POSITIF GLOBALISASI

1) Semakin dipercayanya kebudayaan Indonesia; dengan adanya internet, kalian bisa mengetahui kebudayaan-kebudayaan bangsa lain, sehingga dapat dibandingkan ragam kebudayaan antarnegara, bahkan dapat terjadi adanya akulturasi budaya yang akan semakin memperkaya kebudayaan bangsa. Dengan memperbandingkan itu pula kalian dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan budaya Indonesia bila dibandingkan dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain.

2) Ragam kebudayaan dan kekayaan alam negara Indonesia lebih dikenal dunia; dulu mungkin masyarakat Eropa hanya mengenal Bali sebagai objek wisata di Indonesia. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, masyarakat Eropa mulai mengenal keindahan alam Danau Toba di Sumatra Utara, panorama Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara, keaslian alam Perairan Raja Ampat di Papua, kelembutan tari Bedoyo Ketawang dari Solo (Jawa Tengah), keanggunan tari Persembahan dari Sumatra Barat, atau kemeriahan tari Perang dari suku Nias di Sumatra Utara.

b .AKIBAT NEGATIF GLOBALISASI

1) Munculnya guncangan kebudayaan (cultural shock); guncangan budaya umumnya dialami oleh golongan tua yang terkejut karena melihat adanya perubahan budaya yang dilakukan oleh para generasi muda. Cultural Shock dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Perubahan unsur-unsur budaya seringkali ditanggapi oleh masyarakat dengan beragam. Bagi masyarakat yang belum siap menerima perubahan-perubahan yang terjadi maka akan timbul goncangan (shock) dalam kehidupan sosial dan
budayanya yang mengakibatkan seorang individu menjadi tertinggal atau frustasi. Kondisi demikian dapat menyebabkan timbulnya suatu keadaan yang tidak seimbang dan tidak serasi dalam kehidupan. Contoh: di era globalisasi ini unsur-unsur budaya asing seperti pola pergaulan hedonis (memuja kemewahan), pola hidup konsumtif sudah menjadi pola pergaulan dan gaya hidup para remaja kita. Bagi individu atau remaja yang tidak siap dan tidak dapat menyesuaikan pada pola pergaulan tersebut, mereka akan menarik diri dari pergaulan atau bahkan ada yang frustasi sehingga menimbulkan tindakan bunuh diri atau perilaku penyimpangan yang lain.

2) Munculnya ketimpangan kebudayaan (cultural lag); kondisi ini terjadi manakala unsur-unsur kebudayaan tidak berkembang secara bersamaan, salah satu unsur kebudayaan berkembang sangat cepat sedangkan unsur lainnya mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan yang terlihat mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dibandingkan pesatnya perkembangan teknologi, kondisi ini terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia. Untuk mengejar ketertinggalan ini diperlukan penerapan sistem dan pola pendidikan yang berdisiplin tinggi. Contoh: Akibat kenaikan harga BBM pemerintah mengkonversi bahan bakar minyak menjadi gas dengan cara mensosialisasikan tabung gas ke masyarakat. Namun berhubung sebagian masyarakat belum siap, terkait dengan kenyamanan dan keamanan penggunaan tabung gas maka masyarakat kebayakan menolak konversi tersebut. Kondisi demikian menunjukkan adanya ketertinggalan budaya (cultural lag) oleh sebagian masyarakat terhadap perubahan budaya dan perkembangan kemajuan teknologi.

Tanggapan dan Kecenderungan Perilaku Masyarakat terhadap Modernisasi dan Globalisasi

Saat memasuki era milenium ketiga ini, tampaknya arus modernisasi dan globalisasi tidak akan dapat dihindari oleh negara-negara di dunia dalam berbagai aspek kehidupannya. Menolak dan menghindari modernisasi dan globalisasi sama artinya dengan mengucilkan diri dari masyarakat internasional. Kondisi ini tentu akan menyulitkan negara tersebut dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Berbagai tanggapan dan kecenderungan perilaku masyarakat dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi. Secara garis besar dapat dibedakan menjadi sikap positif dan sikap negatif berikut ini.

a. SIKAP POSITIF

Sikap positif menunjukkan bentuk penerimaan masyarakat terhadap arus modernisasi dan globalisasi. Sikap positif mengandung unsur-unsur sebagai berikut.
1) Penerimaan secara terbuka (open minded); sikap ini merupakan langkah pertama dalam upaya menerima pengaruh modernisasi dan globalisasi. Sikap terbuka akan membuat kita lebih dinamis, tidak terbelenggu hal-hal lama yang bersikap kolot, dan akan lebih mudah menerima perubahan dan kemajuan zaman.
2) Mengembangkan sikap antisipatif dan selektif; sikap ini merupakan kelanjutan dari sikap terbuka. Setelah kita dapat membuka diri dari hal-hal baru, langkah selanjutnya adalah kita harus memiliki kepekaan (antisipatif) dalam menilai hal-hal yang akan atau sedang terjadi
kaitannya dengan pengaruh modernisasi dan globalisasi. Sikap antisipatif dapat menunjukkan pengaruh yang timbul akibat adanya arus globalisasi dan modernisasi. Setelah kita mampu menilai pengaruh yang terjadi, maka kita harus mampu memilih (selektif) pengaruh mana yang baik bagi kita dan pengaruh mana yang tidak baik bagi kita.
3) Adaptif, sikap ini merupakan kelanjutan dari sikap antisipatif dan selektif. Sikap adaptif merupakan sikap mampu menyesuaikan diri terhadap hasil perkembangan modernisasi dan globalisasi. Tentu saja penyesuaian diri yang dilakukan bersifat selektif, artinya memiliki pengaruh positif bagi si pelaku.
4) Tidak meninggalkan unsur-unsur budaya asli, seringkali kemajuan zaman mengubah perilaku manusia, mengaburkan kebudayaan yang sudah ada, bahkan menghilangkannya sama sekali. Kondisi ini menyebabkan seseorang/masyarakat kehilangan jati diri mereka, kondisi ini harus dapat dihindari. Semaju apa pun dampak modernisasi yang kita lalui, kita tidak boleh meninggalkan unsur-unsur budaya asli sebagai identitas diri. Jepang merupakan salah satu negara yang modern dan maju, namun tetap mempertahankan identitas diri mereka sebagai masyarakat Jepang.

b . SIKAP NEGATIF

Berbeda dari sikap positif yang menerima terjadinya perubahan akibat dampak modernisasi dan globalisasi, sikap negatif menunjukkan bentuk penolakan masyarakat terhadap arus modernisasi dan globalisasi. Sikap negatif mengandung unsur-unsur berikut ini.
1) Tertutup dan was-was (apatis); sikap ini umumnya dilakukan oleh masyarakat yang telah merasa nyaman dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada, sehingga mereka merasa was-was, curiga, dan menutup diri dari segala pengaruh kemajuan zaman. Sikap seperti ini pernah ditunjukkan oleh negara Cina dengan politik Great Wall-nya. Sikap apatis dan menutup diri ini tentu juga kurang baik, karena sikap ini akan menjauhkan diri dari kemajuan dan perkembangan dunia, kondisi ini akan menyebabkan masyarakat negara lain yang terus tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman.
2) Acuh tah acuh; sikap ini pada umumnya ditunjukkan oleh masyarakat awam yang kurang memahami arti strategis modernisasi dan globalisasi. Masyarakat awam pada umumnya tidak terlalu repot mengurusi dampak yang akan ditimbulkan oleh modernisasi dan globalisasi. Mereka pada umumnya memercayakan sepenuhnya pada kebijakan pemerintah atau atasan mereka (hanya sebagai pengikut saja). Sikap ini cenderung pasif dan tidak memiliki inisiatif.
3) Kurang selektif dalam menyikapi perubahan modernisasi; sikap ini ditunjukkan dengan menerima setiap bentuk hal-hal baru tanpa adanya seleksi/filter. Kondisi ini akan menempatkan segala bentuk kemajuan zaman sebagai hal yang baik dan benar, padahal tidak semua bentuk kemajuan zaman sesuai dengan budaya masyarakat kita. Jika seseorang atau suatu masyarakat hanya menerima suatu modernisasi tanpa adanya filter atau kurang selektif, maka unsur-unsur budaya asli mereka sedikit demi sedikit akan semakin terkikis oleh arus modernisasi yang mereka ikuti. Akibatnya, masyarakat tersebut akan kehilangan jati diri mereka dan ikut larut dalam arus modernisasi yang kurang terkontrol.